Sunday, May 31, 2020

Rasa

Aku bukan pantai yang tahan di hempas ombak
Aku bukan karang yang teguh meski di hadang gelombang
Aku ada rasa

Rasa yang tak kau rasa
Dalam umpatan kasar yang tanpa sengaja menghempas dan menghadang hatiku


Friday, March 6, 2015



SATU

Aku akui, jika aku tidak menyukai ibuku. Bukan karena dia sering memarahiku karena tidak adalagi orang yang hendak dia persalahkan di rumah ini. Aku memaklumi semuanya, tapi tidak untuk yang satu ini.

"Hai Silkworm!" Seorang gadis berambut coklat masuk ke dalam tokoku dan langsung menghampiri dapur.

“Hai Butterfly”. Jawabku malas.

 Seperti biasa, Angela anaknya Bibi Jennie yang merupakan pemilik kedai di kompleks tempat kami tinggal selalu datang untuk mengambil pesanan roti. Kebetulan, ibuku menerima pesanan roti untuk dijual di toko-toko. Dia dan Ibuku memiliki kebiasaan sama, bergosip. Aku sih tidak masalah jika mereka membicarakan orang lain, tapi akan bermasalah jika mereka membicarakan aku di belakangku.

"Kau tahu Angle, ah... aku selalu suka menyebutkan namamu. Aku seperti berbicara kepada malaikat. Hohoho... Kau tahu, aku lelah mempunyai anak perempuan namun tidak bisa membantuku. Dia tak suka menyentuh oven sama sekali. Padahal kau mengerti sendirikan Angle, cuma ini peninggalan suamiku yang bisa aku jaga." Mereka berbisik dengan nyaring. Bahkan, bisa terdengar hingga dua blok dari tempat tinggalku. Aku cuma mendengus kesal.

"Bibi, aku tahu bagaimana perasaan Bibi. Mungkin Kaia punya hal lain yang dia suka. " Angela berbicara sembari mengedikkan bahunya keatas dan aku melihat mimik mencomooh itu.

"Maksudmu, Angle?" Ibuku tidak mengerti apa yang dibicarakan Angela. Setahu dia, aku setiap hari cuma dirumah dan keluar jika dia suruh.

"Apa Bibi gak tahu? Aku ngelihat Kaia jalan bareng Louis kemarin waktu dia pergi ke toserba."

"Jangan seenaknya ngomong." Akhirnya aku menyela. "Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan Louis dan..."

"Dan apa?" kata ibuku.

"Dan kalian gak boleh membicarakan orang di belakang punggungnya sendiri. Itu melanggar undang-undang!" sungutku. Aku melemparkan celemek yang sudah usang ke wadah adonan di atas meja dan meninggalkan Ibuku dan Angela.

"Kaia...! Kaia... selesaikan dulu kerjaanmu!" Ibuku berteriak di belakang namun aku acuhkan.
***

Jika dideskripsikan, aku bukanlah cewek cantik. Sikap acuh, cuek, masa bodoh, dan angkuhku kerap jadi salah paham. Sehingga orang menyangka aku ini cewek jelek yang sombong. Aku tidak bersosialisasi dengan lingkungan disekitarku. Karena aku berfikir buat apa aku bersosialisasi dengan orang-orang yang gemar menyembunyikan sifat asli mereka.

Aku memiliki kebiasaan jelek yang bermula ketika aku di sekolah dasar. Aku gemar mengamati dan menilai orang-orang yang berada di lingkunganku. Mau itu di sekolah maupun di rumah. Mereka, teman-temanku di sekolah selalu memilih teman yang menurut mereka sesuai dengan mereka. Umumnya sih, yang pinter akan temenan sama yang pinter. Yang tampan atau cantik bakal berteman dengan kroni mereka yang sama. Dan aku? Yah... jangan ditanya. Seorang teman sebangkuku ( waktu itu aku sudah menginjak kelas 6 ) memiliki sifat yang sama. Sama-sama pendiam dan cuek terhadap apa yang ada disekitar dia. Aku merasa cukup nyaman, meski tetap tak suka karena dia laki-laki.

Lain lagi ketika aku duduk di kelas satu sekolah menengah pertamaku. Entah apa yang menyihir wali kelasku waktu itu sehingga dia menobatkan aku menjadi juara kelas. Aku cukup terheran-heran dengan prestasi yang terbilang wow itu. Bahkan, ibuku mengira aku melakukan KKN terhadap wali kelasku atau menyabotase kertas raport kepunyaanku. Kan gila!

Aku tidak menyangka, setelah itu kehidupanku di sekolah berubah total. Seketika aku menjadi murid yang paling diincar agar bisa duduk berdekatan denganku. Jangan ditanya itu kenapa, karena kalian pasti tahu alasannya.

Aku selalu berpikir, baik itu siang, malam, dan pagi hari. Aku lemah di pelajaran hitung-hitungan sekelas matematik, fisika, dan kimia. Dan terheran-heran kenapa aku bisa menjadi juara kelas.

“Kaia!” seseorang memanggilku dari ujung jalan yang barusan aku lalui. Aku menoleh. Karena gelap, aku tidak bisa melihat rupanya.

“Kau mau berangkat ke kampus?” sosok itu mendekat. Ketika cahaya lampu jalan menyorot tubuhnya. Aku mengenalinya, Louis.

“ Iya, lalu kau?” aku membalas pertanyaan Louis dengan pertanyaan juga. Kebiasaan jelekku.


“ Kerja” jawabnya pendek sambil menunjukkan kotak perkakas yang dia bawa.

“ Sepagi ini?” tanyaku lagi.

“ Aku kira ini bukan pagi lagi. Ini sudah pukul enam lewat tiga puluh menit. Aku tidak tahu kenapa suasana masih gelap atau mungkin akan hujan?” dia menengadahkan kepalanya dan tampaknya langit menyetujui “ dan lampu jalanan masih hidup. Apa orang-orang di kantor perusahaan listrik masih tidur sehingga mereka lupa matiin ini lampu jalan ya?.” tambahnya.

“ Entahlah.” Jawabku pendek.

“ Sepertinya ada yang lagi jengkel.” Louis berkata sembari memunguti kaleng bekas minuman yang ada disampingnya.

“ Siapa?” tanyaku pura-pura tidak tahu.

“ Siapa lagi kalau tidak botol ini.” Dia berbicara tapi tidak melihatku. Dia masih mengamati botol kosong minuman itu. “ dia pasti jengkel karena sudah di campakkan.”

Aku berhenti karena kata-kata Louis. Dia yang tidak mengetahui jika aku berhenti seketika menabrak punggungku.

“ Eh, Maaf. Aku... aku... gak lihat kalau kau berhenti.” Dari nada suaranya aku tahu jika dia lihat aku berhenti namun pura-pura tidak tahu.

“Kenapa kau ada di kota ini lagi? Aku kira kita gak bakal ketemu lagi. Kabar terakhir yang aku tahu tentangmu, kau punya pacar.” Aku tidak bermaksud ingin tahu soal Louis. Cuma ingin mengubah arah pembicaraan.

“Ya... aku kesini buat ngedapetin seseorang yang dulu sengaja pergi dari aku.” Jawabnya.

“ Pacarmu?”

“ Bukan, teman masa kecil yang dulu aku taksir sudah lama. Lagian aku udah enggak sama Carline, dia cewek yang cerewet dan berbahaya.” Sebuah cengiran lebar muncul di bibirnya. Senyum jahil yang dulu aku kenal semasa kami masih bermain sepeda bersama.

“ Aku harap itu bukan aku.” Jawabku acuh. “ Aku duluan. Jika lama-lama ngobrol denganmu bisa-bisa Angela terus memanasi Ibuku dan menyangka kita ada hubungan apa-apa.”

“ Kalaupun ada juga tidak apa-apa.” Bisik Louis pelan.

“Maksudmu?”

“Ah tidak, lebih baik kau berangkat segera. Bukankah kau masuk pukul tujuh? Sebentar lagi bus yang menuju kampusmu datang. Hati-hati dijalan dan semoga harimu menyenangkan.” Louis mengacak-ngacak rambutku yang emang sudah berantakan. Aku memang jarang menyisir rambutku karena kurang suka dengan kelurusannya.

“ Hei!” teriakku jengkel. Aku mencoba meraih rambutnya juga karena ingin balas dendam. Tapi karena kalah tinggi aku cuma bisa mencapai keningnya.

“Hahaha... dulu kau lebih tinggi dari aku, sekarang kau kalah tinggi dari aku. Hahaha tapi biar berantakan gitu masih kelihatan cantik kok. Hahaha, bye Kaia” dia meninggalkanku dengan tawa yang memenuhi suasana sunyi pagi itu.

Aku masih memperhatikan tubuh Louis yang semakin menjauh, kemudian hilang karena dia berbelok di ujung gang. Ada perasaan mencelos di dalam hatiku. Kenapa aku?

***

Pukul 10.30 mata pelajaran jam pertamaku habis. Aku tidak tahu entah kenapa ketika memilih jurusan di kampus aku memilih jurusan yang sekarang aku jalani.  Padahal, aku tidak berminat sedikitpun dengan ekonomi.

“Aku heran, setiap kelas selesai tampangmu seperti orang yang kalah taruhan.” Trace menyapaku di depan ruangan kelas yang tadi kami pakai.

Maybe yes or maybe no”. Aku menghela nafas. Aku memang kalah taruhan.

“ Kenapa sih Kaia... ?” Trace teman yang baik. Dia perhatian denganku, hanya saja... aku nyebut dia cerewet, ingin tahu urusan orang, dan sok bijak.

“ Gak kenapa-kenapa.” Jawabku pendek.

“ Kalau aku tanya jawabmu ‘gak kenapa-kenapa’ mulu. Heran deh...” Trace bersungut. Kebiasaan cewek apabila keinginnya tidak dipenuhi.

“ Hehehe... Kita masih ada kelaskan? Jam berapa dan diruangan mana?” aku mengalihkan topik pembicaraan kearah yang lebih aman. Aku masih tidak suka jika masalahku diikut campuri oleh orang lain.

“ Setelah jam makan siang pukul 14.30 . Kelasnya belum tahu, kita kan baru masuk. Inikan awal semester Kaia. Harusnya kau punya mesin pengingat. Penyakit lupamu itu sudah akut banget” Trace kembali ke dirinya lagi. Sosok yang cerewet.

“ Lalu kita akan kemana? Jam dua masih lama.” Kataku yang tidak menggubris sarannya mengenai penyakit lupaku.

“ Cari makan dulu deh, aku lapar. Tadi pagi gak sempat sarapan.”

“ Memang kau gak bawa bekal? Biasanya gak ketinggalan.”

“ Tadi pagi aku buru-buru. Jadi gak sempat sarapan apalagi bawa bekal.” Jelasnya lagi.

“ Ohhh...” aku ber-oh panjang.

“ Jadi?”

“ Jadi apa?” tanyaku

“ Ikut aku cari makan apa kau akan tetap disini?” Trace mulai gemas dengan kebiasaanku yang melempar-lempar pertanyaan.

“ Tidak tetap disini dan tidak ikut denganmu. Aku ke taman di belakang kampus saja.” Putusku.

“ Oke. Kalau begitu sampai ketemu jam dua.” Trace melambaikan tangan dan berlalu. Aku juga melangkah ke arah pintu belakang kampus. Aku mengeluarkan headset dan memasangkannya ketelingaku lalu mulai menghidupkan ipod yang biasa aku bawa kemana-mana. Entah kenapa, terasa selalu menyenangkan ketika aku mulai mendengarkan musik yang aku suka. Seolah dunia di sekelilingku membuyar dan berubah menjadi dunia yang aku inginkan.

***

Thursday, June 5, 2014

Lelah

aku lelah
lelah berakting untuk bahagia
lelah untuk berperan rendah hati
lelah begini dan begini

kapan waktu mencari jati diri
usai begitu begini lagi
ingkari saja kata hati
yang kerap berkata bahagia dari mereka

bahagia adalah kita
adalah kau dan aku saja

Friday, May 16, 2014

FanFic -Death Note- Eps 1

Prediksi Yang salah

"Kenapa kau masih hidup Ryuk?" Tanya L ketika sedang memainkan papan caturnya.
"Karena aku hidup, hekekekekek" Kekeh Shinigami itu.
"Bukan itu yang aku maksud, kau sudah menuliskan nama di buku itu. Lalu kenapa kau tidak menjadi abu? Bukankah kalau Shinigami sudah menuliskan sebuah nama dari tangan dia, dia langsung lenyap?" Tanya L sedikit penasaran, Kira yang mati ditangan Shinigaminya sendiri itu masih menjadi pemikiran bagi L.
"Shinigami lenyap atau menjadi abu jika yang dituliskannya bukan pemegang buku ini, tapi jika dia menuliskan nama Tuannya otomatis umur Shinigami tidak akan terganggu" Jelas Ryuk.
"..." L atau Ruuzaky terdiam. Mencoba mencerna ucapan Shinigami ini.
"Oh ya, ada satu hal yang tidak diketahui Kira." kata Ryuk tiba-tiba yang membuat Ruuzaky menoleh.
"Apa itu?"
"Dia tidak tahu, ketika buku itu dituliskan oleh Shinigami sendiri. Semua hal yang telah tertuliskan oleh pemegangnya tidak berlaku lagi"
"Benarkah demikian Ryuk?"
"Iya"
"Begitu" L mengambil tumpukan gula diatas mejanya yang berantakan. Memasukannya segenggam ke dalam cangkir kopinya. Pertanda dia bahagia.

---

"L, apa yang kau lakukan disini?" Inspektur Yagami terkejut melihat L berada dalam kantornya.
"Kira beraksi lagi" Katanya singkat.
"Itu tidak mungkin"
"Mungkin saja, Saya sudah menanyakan hal ini kepada Shinigami. Setiap orang bisa memiliki Death Note"
"Bag...Bagaimana mungkin!" kata inspektrur terbata.
"Semua hal mungkin inspektur, Death Note akan jatuh ke tangan seseorang jika dia memohon kepada Dewa Kematian untuk memilikinya. Kita lihat dalam dua kasus lalu bukan? Ada dua Kira." Jelas L.
"Jadi..."
"Kau tidak baca berita, Inspektur?"
"Tidak"
"Kalau begitu hidupkan televisimu"
"- Kembali, setelah lama tidak dikabarkan kemunculannya. Kira, Sang Penegak Keadilan kembali menunjukkan dirinya. Berikut pesan yang dia sebarkan keseluruh media ' Kira kembali, Kira kembali dan akan menegakkan keadilan lagi!'-tit",

"Ini mustahil" Ucap Inspektur setelah mematikan siaran langsung itu.
"Ya... mustahil" Memainkan lolipopnya, L duduk jongkok di atas sofa sambil memikirkan hal ini lebih dalam.

"Aku mengira Kira sudah tak ada lagi setelah kematian Light dan kesalahan atas kematianmu L"
"Aku juga berfikir begitu Inspektur"
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Memulai lagi dari awal"

Tidak seperti biasanya, L tak suka jika pekerjaannya harus mulai lagi dari awal. Namun, kali ini dia bertekad. Ini masalah serius. Ada bahaya yang amat sangat nyata mengancam bumi. Prediksinya melenceng, tak cukup dengan membakar death Note milik Misa. Lalu, Death Note milik Light ini apakah harus dibakarnya juga? Tidak... tidak mungkin, jika ini dibakar... Eh, tapi tunggu dulu. Kenapa tidak dimanfaatkan saja? bukankah jika kita melakukan pertukaran mata kita bisa melihat umur manusia?, bisiknya

"Ryuk," Katanya kemudian "Beri aku matamu"

Friday, May 9, 2014

Kumpulan Puisi Surealisme


Kelakuan

pada dasarnya kita sama
sama sama berkelamin betina

kau merangkak
aku berjalan tegak

tak soal seberapa besar kepang sanggulmu
yang penting jangkar otak dalam tengkorak itu

kau tergelak
kata-kataku yang jika didengar manusia jelas menyesak dada mereka

ah tak jadi soal
dulu juga mereka sama
bahkan sekarang juga
katamu sembari menjejal tulang belulang berbelatung kemulut kasarmu

jacket beludru tersampir dibahu
topi hangat terjejal dikepalamu
kontras sekali dengan rupaku
bulu tebal membebat ragaku
memasukkan roti tawar yang tadi kubeli dikedai itu

- oo -

Celoteh

bibir cangkirku kini sumbing
semalam suntuk kugigiti terus
karena kerap sekali mencelotehi kau

dia sepertinya lebih ingat kenangan ketika kau mencampakkan dia daripada aku
tak lagi manis kurasa setiap kali kusesapi muncungnya

dia meraung
memberontak
hingga sesapanku tak tertelan malah terbuang

aku lempar dia
namun dia cuma menangis
meratapi kepergianmu

- oo -

Mulutku Mulutnya

mulutku dan mulutnya saling melumat dalam senggama
berceloteh kasar hingga tertawa
hingga terbusai liur dibuatnya

terserah
mau yang dimakannya itu makanan halal atau haram
yang jelas kita melumat dengan garang
menggigit tanpa belas kasihan
yang pasti mulutku dan mulutnya saling menggeram

banyak yang mencibir
hingga lidahnya terjulir bagai anjing kepanasan
yang tak dapat makan dari tuan

tak soal,
kami tetap garang dalam erangan

- oo -

Sajak Sahabat

kawan, terima kasih
atas kesedianmu memberi tempat aku diantara temanmu, temanku juga

kerap kali sindirian yang aku lontarkan dianggap peluru
yang dengan seketika mematikan aliran darahmu sehingga dia memancar keluar
salah kawan, picik dugaanmu mengenyahkan terima kasihku

kita hendaknya belajar,
belajar yang banyak agar hidup lebih bijak
bukan berdiam diri dalam satu tempat
kemudian berkata kau yang hebat
salah kawan, salah

kau selalu menyindirku
usah terlalu senang didunia biru
padahal pelajaran kerap ku ambil dari situ
dengan sedikit membuka buku

banyak orang bilang
pengalaman bukan  guru kalau kita tak terjun kedalam
berkubang hingga kotor
hingga bibirmu jontor-jontor

kebaikanmu mulia, kawan
salahnya kau terlalu mendikte dengan pengelihatan
atau aku yang salah kawan,
terlalu memaksakan kehendak agar kau belajar dari satu saja arahan

Si Sulah

Serial anak-anak Minang

"Si Sulah"

Pada jaman dahulu kala, kalau tidak mau kubilang jaman Pak Harto karena sinisme tertentu dan rezim orde baru yang dibilang otoriter itu. Hiduplah seorang anak kecil berkepala pelontos alias botak jika tak mau aku bilang sulah. Giginya tinggal dua karena habis dimakan rayap. Jelas saja itu tak mungkin...gigi itu penguyah coklat sejati yang diambil dari warung bundonya. Bahagia sekali memang. Sekarang mana ada, main "sipak tekong". Aku tak tau bahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesianya kubilang menurut bahasa daerahku sajalah.

Sampai malam dibelakang mesjid dekat kuburanpun jadi mereka main begitu. tidak peduli amay-amay
menyoraki mereka. Roh kuburan akan marah dan "manyapo" mereka. aku tidak mengerti, hubungannya apa, sampai sekarangpun.

Sial benar. Semenjak rezim pak jendral lengser, saat itu pula para keyakinan bocah-bocah tengik macam kami luntur dengan datangnya barang mewah semacam hape atau alat main game paling canggih jaman itu gimbot. Rasanya jadi orang kaya sekampung jika punya gimbot. beda lagi sekarang. Gimbot saja tak laku.

***
Azan magrib sudah berkumandang, tak ayal Si Sulah tadi tergopoh pulang, takut dimarahi Bundonya. Anak sekarang, pulang malam saja bukannya kena marah. Dimarahi malah memarahi balik, telak benar. Mencari handuk buat mandi dan ke surau. Berada di syaf paling depan dideretan "Gaek" dan "Apak" si sulah pede. Entah hapal dengan ayat yang dibaca entah cuma komat kamit saja.

"Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabaraktuh"

Pak Ustad membuka pertemuan mengaji malam itu. Biasanya bapak Ibrahim atau bapak Tengku.tapi ini sepertinya Ustad baru.

"Baiklah hari ini saya menggantikan bapak Ibrahim karena beliau pulang kampung ke Mentawai" kami
bahagia.

"Untuk itu hari ini kita akan mempelajari surat Al- Kafirun, yang hapal akan saya kasih duit seribu" sambil menlongokkan duit seribu berwarna biru. Seribu sudah banyak jaman itu, bisa beli miso.

Kami girang bukan kepalang, duit seribu dan kelereng yang akan dibeli besok. Isi kepala Si Sulah.
Terpatah-patah menghafal beberapa ayat itu. Si Sulah cuma bisa dua ayat saja. Mencelos lah hatinya. Gagal uang seribu.

***

"Kenapa kau macam kucing kena ikat lehernya. Menyuduik saja." Kata Bundo
"Aku tak dapat duit seribu dari Pak Ustad Bundo."

"Ondeh, macam apa pula itu"

"Kata Pak Ustad kalau hapal surat al-kafirun dikasih duit seribu"

"Alah...alah...hei Sulah...jangan uang saja di otak kau itu. Tujuan Bapak Ustad itu biar kau hapal dan
mendalami suratnya. Bukan duitnya. Apa modal kau hidup nanti jika Al-Qur'an saja kau tak pandai membacanya. Mau kau ajari apa anak kau kelak? Bundo tak mungkin mengingatkan kau soal ini. mana tau sebentar lagi umur Bundo habis. Ingat Nak, angan dunia ini saja kau kejar, kau hidup akan mati bukan hidup selamanya..."

"Iya bundo"

***