Friday, March 6, 2015



SATU

Aku akui, jika aku tidak menyukai ibuku. Bukan karena dia sering memarahiku karena tidak adalagi orang yang hendak dia persalahkan di rumah ini. Aku memaklumi semuanya, tapi tidak untuk yang satu ini.

"Hai Silkworm!" Seorang gadis berambut coklat masuk ke dalam tokoku dan langsung menghampiri dapur.

“Hai Butterfly”. Jawabku malas.

 Seperti biasa, Angela anaknya Bibi Jennie yang merupakan pemilik kedai di kompleks tempat kami tinggal selalu datang untuk mengambil pesanan roti. Kebetulan, ibuku menerima pesanan roti untuk dijual di toko-toko. Dia dan Ibuku memiliki kebiasaan sama, bergosip. Aku sih tidak masalah jika mereka membicarakan orang lain, tapi akan bermasalah jika mereka membicarakan aku di belakangku.

"Kau tahu Angle, ah... aku selalu suka menyebutkan namamu. Aku seperti berbicara kepada malaikat. Hohoho... Kau tahu, aku lelah mempunyai anak perempuan namun tidak bisa membantuku. Dia tak suka menyentuh oven sama sekali. Padahal kau mengerti sendirikan Angle, cuma ini peninggalan suamiku yang bisa aku jaga." Mereka berbisik dengan nyaring. Bahkan, bisa terdengar hingga dua blok dari tempat tinggalku. Aku cuma mendengus kesal.

"Bibi, aku tahu bagaimana perasaan Bibi. Mungkin Kaia punya hal lain yang dia suka. " Angela berbicara sembari mengedikkan bahunya keatas dan aku melihat mimik mencomooh itu.

"Maksudmu, Angle?" Ibuku tidak mengerti apa yang dibicarakan Angela. Setahu dia, aku setiap hari cuma dirumah dan keluar jika dia suruh.

"Apa Bibi gak tahu? Aku ngelihat Kaia jalan bareng Louis kemarin waktu dia pergi ke toserba."

"Jangan seenaknya ngomong." Akhirnya aku menyela. "Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan Louis dan..."

"Dan apa?" kata ibuku.

"Dan kalian gak boleh membicarakan orang di belakang punggungnya sendiri. Itu melanggar undang-undang!" sungutku. Aku melemparkan celemek yang sudah usang ke wadah adonan di atas meja dan meninggalkan Ibuku dan Angela.

"Kaia...! Kaia... selesaikan dulu kerjaanmu!" Ibuku berteriak di belakang namun aku acuhkan.
***

Jika dideskripsikan, aku bukanlah cewek cantik. Sikap acuh, cuek, masa bodoh, dan angkuhku kerap jadi salah paham. Sehingga orang menyangka aku ini cewek jelek yang sombong. Aku tidak bersosialisasi dengan lingkungan disekitarku. Karena aku berfikir buat apa aku bersosialisasi dengan orang-orang yang gemar menyembunyikan sifat asli mereka.

Aku memiliki kebiasaan jelek yang bermula ketika aku di sekolah dasar. Aku gemar mengamati dan menilai orang-orang yang berada di lingkunganku. Mau itu di sekolah maupun di rumah. Mereka, teman-temanku di sekolah selalu memilih teman yang menurut mereka sesuai dengan mereka. Umumnya sih, yang pinter akan temenan sama yang pinter. Yang tampan atau cantik bakal berteman dengan kroni mereka yang sama. Dan aku? Yah... jangan ditanya. Seorang teman sebangkuku ( waktu itu aku sudah menginjak kelas 6 ) memiliki sifat yang sama. Sama-sama pendiam dan cuek terhadap apa yang ada disekitar dia. Aku merasa cukup nyaman, meski tetap tak suka karena dia laki-laki.

Lain lagi ketika aku duduk di kelas satu sekolah menengah pertamaku. Entah apa yang menyihir wali kelasku waktu itu sehingga dia menobatkan aku menjadi juara kelas. Aku cukup terheran-heran dengan prestasi yang terbilang wow itu. Bahkan, ibuku mengira aku melakukan KKN terhadap wali kelasku atau menyabotase kertas raport kepunyaanku. Kan gila!

Aku tidak menyangka, setelah itu kehidupanku di sekolah berubah total. Seketika aku menjadi murid yang paling diincar agar bisa duduk berdekatan denganku. Jangan ditanya itu kenapa, karena kalian pasti tahu alasannya.

Aku selalu berpikir, baik itu siang, malam, dan pagi hari. Aku lemah di pelajaran hitung-hitungan sekelas matematik, fisika, dan kimia. Dan terheran-heran kenapa aku bisa menjadi juara kelas.

“Kaia!” seseorang memanggilku dari ujung jalan yang barusan aku lalui. Aku menoleh. Karena gelap, aku tidak bisa melihat rupanya.

“Kau mau berangkat ke kampus?” sosok itu mendekat. Ketika cahaya lampu jalan menyorot tubuhnya. Aku mengenalinya, Louis.

“ Iya, lalu kau?” aku membalas pertanyaan Louis dengan pertanyaan juga. Kebiasaan jelekku.


“ Kerja” jawabnya pendek sambil menunjukkan kotak perkakas yang dia bawa.

“ Sepagi ini?” tanyaku lagi.

“ Aku kira ini bukan pagi lagi. Ini sudah pukul enam lewat tiga puluh menit. Aku tidak tahu kenapa suasana masih gelap atau mungkin akan hujan?” dia menengadahkan kepalanya dan tampaknya langit menyetujui “ dan lampu jalanan masih hidup. Apa orang-orang di kantor perusahaan listrik masih tidur sehingga mereka lupa matiin ini lampu jalan ya?.” tambahnya.

“ Entahlah.” Jawabku pendek.

“ Sepertinya ada yang lagi jengkel.” Louis berkata sembari memunguti kaleng bekas minuman yang ada disampingnya.

“ Siapa?” tanyaku pura-pura tidak tahu.

“ Siapa lagi kalau tidak botol ini.” Dia berbicara tapi tidak melihatku. Dia masih mengamati botol kosong minuman itu. “ dia pasti jengkel karena sudah di campakkan.”

Aku berhenti karena kata-kata Louis. Dia yang tidak mengetahui jika aku berhenti seketika menabrak punggungku.

“ Eh, Maaf. Aku... aku... gak lihat kalau kau berhenti.” Dari nada suaranya aku tahu jika dia lihat aku berhenti namun pura-pura tidak tahu.

“Kenapa kau ada di kota ini lagi? Aku kira kita gak bakal ketemu lagi. Kabar terakhir yang aku tahu tentangmu, kau punya pacar.” Aku tidak bermaksud ingin tahu soal Louis. Cuma ingin mengubah arah pembicaraan.

“Ya... aku kesini buat ngedapetin seseorang yang dulu sengaja pergi dari aku.” Jawabnya.

“ Pacarmu?”

“ Bukan, teman masa kecil yang dulu aku taksir sudah lama. Lagian aku udah enggak sama Carline, dia cewek yang cerewet dan berbahaya.” Sebuah cengiran lebar muncul di bibirnya. Senyum jahil yang dulu aku kenal semasa kami masih bermain sepeda bersama.

“ Aku harap itu bukan aku.” Jawabku acuh. “ Aku duluan. Jika lama-lama ngobrol denganmu bisa-bisa Angela terus memanasi Ibuku dan menyangka kita ada hubungan apa-apa.”

“ Kalaupun ada juga tidak apa-apa.” Bisik Louis pelan.

“Maksudmu?”

“Ah tidak, lebih baik kau berangkat segera. Bukankah kau masuk pukul tujuh? Sebentar lagi bus yang menuju kampusmu datang. Hati-hati dijalan dan semoga harimu menyenangkan.” Louis mengacak-ngacak rambutku yang emang sudah berantakan. Aku memang jarang menyisir rambutku karena kurang suka dengan kelurusannya.

“ Hei!” teriakku jengkel. Aku mencoba meraih rambutnya juga karena ingin balas dendam. Tapi karena kalah tinggi aku cuma bisa mencapai keningnya.

“Hahaha... dulu kau lebih tinggi dari aku, sekarang kau kalah tinggi dari aku. Hahaha tapi biar berantakan gitu masih kelihatan cantik kok. Hahaha, bye Kaia” dia meninggalkanku dengan tawa yang memenuhi suasana sunyi pagi itu.

Aku masih memperhatikan tubuh Louis yang semakin menjauh, kemudian hilang karena dia berbelok di ujung gang. Ada perasaan mencelos di dalam hatiku. Kenapa aku?

***

Pukul 10.30 mata pelajaran jam pertamaku habis. Aku tidak tahu entah kenapa ketika memilih jurusan di kampus aku memilih jurusan yang sekarang aku jalani.  Padahal, aku tidak berminat sedikitpun dengan ekonomi.

“Aku heran, setiap kelas selesai tampangmu seperti orang yang kalah taruhan.” Trace menyapaku di depan ruangan kelas yang tadi kami pakai.

Maybe yes or maybe no”. Aku menghela nafas. Aku memang kalah taruhan.

“ Kenapa sih Kaia... ?” Trace teman yang baik. Dia perhatian denganku, hanya saja... aku nyebut dia cerewet, ingin tahu urusan orang, dan sok bijak.

“ Gak kenapa-kenapa.” Jawabku pendek.

“ Kalau aku tanya jawabmu ‘gak kenapa-kenapa’ mulu. Heran deh...” Trace bersungut. Kebiasaan cewek apabila keinginnya tidak dipenuhi.

“ Hehehe... Kita masih ada kelaskan? Jam berapa dan diruangan mana?” aku mengalihkan topik pembicaraan kearah yang lebih aman. Aku masih tidak suka jika masalahku diikut campuri oleh orang lain.

“ Setelah jam makan siang pukul 14.30 . Kelasnya belum tahu, kita kan baru masuk. Inikan awal semester Kaia. Harusnya kau punya mesin pengingat. Penyakit lupamu itu sudah akut banget” Trace kembali ke dirinya lagi. Sosok yang cerewet.

“ Lalu kita akan kemana? Jam dua masih lama.” Kataku yang tidak menggubris sarannya mengenai penyakit lupaku.

“ Cari makan dulu deh, aku lapar. Tadi pagi gak sempat sarapan.”

“ Memang kau gak bawa bekal? Biasanya gak ketinggalan.”

“ Tadi pagi aku buru-buru. Jadi gak sempat sarapan apalagi bawa bekal.” Jelasnya lagi.

“ Ohhh...” aku ber-oh panjang.

“ Jadi?”

“ Jadi apa?” tanyaku

“ Ikut aku cari makan apa kau akan tetap disini?” Trace mulai gemas dengan kebiasaanku yang melempar-lempar pertanyaan.

“ Tidak tetap disini dan tidak ikut denganmu. Aku ke taman di belakang kampus saja.” Putusku.

“ Oke. Kalau begitu sampai ketemu jam dua.” Trace melambaikan tangan dan berlalu. Aku juga melangkah ke arah pintu belakang kampus. Aku mengeluarkan headset dan memasangkannya ketelingaku lalu mulai menghidupkan ipod yang biasa aku bawa kemana-mana. Entah kenapa, terasa selalu menyenangkan ketika aku mulai mendengarkan musik yang aku suka. Seolah dunia di sekelilingku membuyar dan berubah menjadi dunia yang aku inginkan.

***

0 comments:

Post a Comment