SATU
Aku akui, jika
aku tidak menyukai ibuku. Bukan karena dia sering memarahiku karena tidak
adalagi orang yang hendak dia persalahkan di rumah ini. Aku memaklumi semuanya,
tapi tidak untuk yang satu ini.
"Hai
Silkworm!" Seorang gadis berambut coklat masuk ke dalam tokoku dan
langsung menghampiri dapur.
“Hai Butterfly”.
Jawabku malas.
Seperti biasa, Angela anaknya Bibi Jennie yang
merupakan pemilik kedai di kompleks tempat kami tinggal selalu datang untuk
mengambil pesanan roti. Kebetulan, ibuku menerima pesanan roti untuk dijual di
toko-toko. Dia dan Ibuku memiliki kebiasaan sama, bergosip. Aku sih tidak
masalah jika mereka membicarakan orang lain, tapi akan bermasalah jika mereka
membicarakan aku di belakangku.
"Kau tahu
Angle, ah... aku selalu suka menyebutkan namamu. Aku seperti berbicara kepada
malaikat. Hohoho... Kau tahu, aku lelah mempunyai anak perempuan namun tidak
bisa membantuku. Dia tak suka menyentuh oven sama sekali. Padahal kau mengerti
sendirikan Angle, cuma ini peninggalan suamiku yang bisa aku jaga." Mereka
berbisik dengan nyaring. Bahkan, bisa terdengar hingga dua blok dari tempat
tinggalku. Aku cuma mendengus kesal.
"Bibi, aku
tahu bagaimana perasaan Bibi. Mungkin Kaia punya hal lain yang dia suka. "
Angela berbicara sembari mengedikkan bahunya keatas dan aku melihat mimik
mencomooh itu.
"Maksudmu,
Angle?" Ibuku tidak mengerti apa yang dibicarakan Angela. Setahu dia, aku
setiap hari cuma dirumah dan keluar jika dia suruh.
"Apa Bibi
gak tahu? Aku ngelihat Kaia jalan bareng Louis kemarin waktu dia pergi ke
toserba."
"Jangan
seenaknya ngomong." Akhirnya aku menyela. "Aku tidak punya hubungan
apa-apa dengan Louis dan..."
"Dan
apa?" kata ibuku.
"Dan kalian
gak boleh membicarakan orang di belakang punggungnya sendiri. Itu melanggar
undang-undang!" sungutku. Aku melemparkan celemek yang sudah usang ke
wadah adonan di atas meja dan meninggalkan Ibuku dan Angela.
"Kaia...!
Kaia... selesaikan dulu kerjaanmu!" Ibuku berteriak di belakang namun aku
acuhkan.
***
Jika dideskripsikan, aku bukanlah cewek
cantik. Sikap acuh, cuek, masa bodoh, dan angkuhku kerap jadi salah paham. Sehingga
orang menyangka aku ini cewek jelek yang sombong. Aku tidak bersosialisasi
dengan lingkungan disekitarku. Karena aku berfikir buat apa aku bersosialisasi
dengan orang-orang yang gemar menyembunyikan sifat asli mereka.
Aku memiliki kebiasaan jelek yang bermula
ketika aku di sekolah dasar. Aku gemar mengamati dan menilai orang-orang yang
berada di lingkunganku. Mau itu di sekolah maupun di rumah. Mereka,
teman-temanku di sekolah selalu memilih teman yang menurut mereka sesuai dengan
mereka. Umumnya sih, yang pinter akan temenan sama yang pinter. Yang tampan
atau cantik bakal berteman dengan kroni mereka yang sama. Dan aku? Yah...
jangan ditanya. Seorang teman sebangkuku ( waktu itu aku sudah menginjak kelas
6 ) memiliki sifat yang sama. Sama-sama pendiam dan cuek terhadap apa yang ada
disekitar dia. Aku merasa cukup nyaman, meski tetap tak suka karena dia
laki-laki.
Lain lagi ketika aku duduk di kelas satu
sekolah menengah pertamaku. Entah apa yang menyihir wali kelasku waktu itu
sehingga dia menobatkan aku menjadi juara kelas. Aku cukup terheran-heran
dengan prestasi yang terbilang wow itu. Bahkan, ibuku mengira aku melakukan KKN
terhadap wali kelasku atau menyabotase kertas raport kepunyaanku. Kan gila!
Aku tidak menyangka, setelah itu kehidupanku
di sekolah berubah total. Seketika aku menjadi murid yang paling diincar agar
bisa duduk berdekatan denganku. Jangan ditanya itu kenapa, karena kalian pasti
tahu alasannya.
Aku selalu berpikir, baik itu siang, malam,
dan pagi hari. Aku lemah di pelajaran hitung-hitungan sekelas matematik,
fisika, dan kimia. Dan terheran-heran kenapa aku bisa menjadi juara kelas.
“Kaia!” seseorang memanggilku dari ujung jalan
yang barusan aku lalui. Aku menoleh. Karena gelap, aku tidak bisa melihat
rupanya.
“Kau mau berangkat ke kampus?” sosok itu
mendekat. Ketika cahaya lampu jalan menyorot tubuhnya. Aku mengenalinya, Louis.
“ Iya, lalu kau?” aku membalas pertanyaan
Louis dengan pertanyaan juga. Kebiasaan jelekku.
“ Kerja” jawabnya pendek sambil menunjukkan
kotak perkakas yang dia bawa.
“ Sepagi ini?” tanyaku lagi.
“ Aku kira ini bukan pagi lagi. Ini sudah
pukul enam lewat tiga puluh menit. Aku tidak tahu kenapa suasana masih gelap
atau mungkin akan hujan?” dia menengadahkan kepalanya dan tampaknya langit
menyetujui “ dan lampu jalanan masih hidup. Apa orang-orang di kantor perusahaan
listrik masih tidur sehingga mereka lupa matiin ini lampu jalan ya?.”
tambahnya.
“ Entahlah.” Jawabku pendek.
“ Sepertinya ada yang lagi jengkel.” Louis
berkata sembari memunguti kaleng bekas minuman yang ada disampingnya.
“ Siapa?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“ Siapa lagi kalau tidak botol ini.” Dia berbicara
tapi tidak melihatku. Dia masih mengamati botol kosong minuman itu. “ dia pasti
jengkel karena sudah di campakkan.”
Aku berhenti karena kata-kata Louis. Dia yang
tidak mengetahui jika aku berhenti seketika menabrak punggungku.
“ Eh, Maaf. Aku... aku... gak lihat kalau kau
berhenti.” Dari nada suaranya aku tahu jika dia lihat aku berhenti namun
pura-pura tidak tahu.
“Kenapa kau ada di kota ini lagi? Aku kira
kita gak bakal ketemu lagi. Kabar terakhir yang aku tahu tentangmu, kau punya
pacar.” Aku tidak bermaksud ingin tahu soal Louis. Cuma ingin mengubah arah
pembicaraan.
“Ya... aku kesini buat ngedapetin seseorang
yang dulu sengaja pergi dari aku.” Jawabnya.
“ Pacarmu?”
“ Bukan, teman masa kecil yang dulu aku taksir
sudah lama. Lagian aku udah enggak sama Carline, dia cewek yang cerewet dan
berbahaya.” Sebuah cengiran lebar muncul di bibirnya. Senyum jahil yang dulu
aku kenal semasa kami masih bermain sepeda bersama.
“ Aku harap itu bukan aku.” Jawabku acuh. “
Aku duluan. Jika lama-lama ngobrol denganmu bisa-bisa Angela terus memanasi
Ibuku dan menyangka kita ada hubungan apa-apa.”
“ Kalaupun ada juga tidak apa-apa.” Bisik
Louis pelan.
“Maksudmu?”
“Ah tidak, lebih baik kau berangkat segera. Bukankah
kau masuk pukul tujuh? Sebentar lagi bus yang menuju kampusmu datang. Hati-hati
dijalan dan semoga harimu menyenangkan.” Louis mengacak-ngacak rambutku yang
emang sudah berantakan. Aku memang jarang menyisir rambutku karena kurang suka
dengan kelurusannya.
“ Hei!” teriakku jengkel. Aku mencoba meraih
rambutnya juga karena ingin balas dendam. Tapi karena kalah tinggi aku cuma
bisa mencapai keningnya.
“Hahaha... dulu kau lebih tinggi dari aku,
sekarang kau kalah tinggi dari aku. Hahaha tapi biar berantakan gitu masih
kelihatan cantik kok. Hahaha, bye Kaia” dia meninggalkanku dengan tawa yang
memenuhi suasana sunyi pagi itu.
Aku masih
memperhatikan tubuh Louis yang semakin menjauh, kemudian hilang karena dia
berbelok di ujung gang. Ada perasaan mencelos di dalam hatiku. Kenapa aku?
***
Pukul 10.30 mata pelajaran jam pertamaku
habis. Aku tidak tahu entah kenapa ketika memilih jurusan di kampus aku memilih
jurusan yang sekarang aku jalani. Padahal,
aku tidak berminat sedikitpun dengan ekonomi.
“Aku heran, setiap kelas selesai tampangmu seperti
orang yang kalah taruhan.” Trace menyapaku di depan ruangan kelas yang tadi kami
pakai.
“Maybe
yes or maybe no”. Aku menghela nafas. Aku memang kalah taruhan.
“ Kenapa sih Kaia... ?” Trace teman yang baik.
Dia perhatian denganku, hanya saja... aku nyebut dia cerewet, ingin tahu urusan
orang, dan sok bijak.
“ Gak kenapa-kenapa.” Jawabku pendek.
“ Kalau aku tanya jawabmu ‘gak kenapa-kenapa’
mulu. Heran deh...” Trace bersungut. Kebiasaan cewek apabila keinginnya tidak
dipenuhi.
“ Hehehe... Kita masih ada kelaskan? Jam berapa
dan diruangan mana?” aku mengalihkan topik pembicaraan kearah yang lebih aman. Aku
masih tidak suka jika masalahku diikut campuri oleh orang lain.
“ Setelah jam makan siang pukul 14.30 . Kelasnya
belum tahu, kita kan baru masuk. Inikan awal semester Kaia. Harusnya kau punya
mesin pengingat. Penyakit lupamu itu sudah akut banget” Trace kembali ke dirinya lagi. Sosok yang cerewet.
“ Lalu kita akan kemana? Jam dua masih lama.” Kataku
yang tidak menggubris sarannya mengenai penyakit lupaku.
“ Cari makan dulu deh, aku lapar. Tadi pagi
gak sempat sarapan.”
“ Memang kau gak bawa bekal? Biasanya gak
ketinggalan.”
“ Tadi pagi aku buru-buru. Jadi gak sempat sarapan
apalagi bawa bekal.” Jelasnya lagi.
“ Ohhh...” aku ber-oh panjang.
“ Jadi?”
“ Jadi apa?” tanyaku
“ Ikut aku cari makan apa kau akan tetap
disini?” Trace mulai gemas dengan kebiasaanku yang melempar-lempar pertanyaan.
“ Tidak tetap disini dan tidak ikut denganmu.
Aku ke taman di belakang kampus saja.” Putusku.
“ Oke. Kalau begitu sampai ketemu jam dua.”
Trace melambaikan tangan dan berlalu. Aku juga melangkah ke arah pintu belakang
kampus. Aku mengeluarkan headset dan memasangkannya ketelingaku lalu mulai
menghidupkan ipod yang biasa aku bawa kemana-mana. Entah kenapa, terasa selalu
menyenangkan ketika aku mulai mendengarkan musik yang aku suka. Seolah dunia di
sekelilingku membuyar dan berubah menjadi dunia yang aku inginkan.
***
0 comments:
Post a Comment